SIBERKITA.COM, KOLAKA– Sekelompok aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kolaka Kontrol menggelar aksi unjuk rasa di kantor Pengadilan Negeri (PN) Kolaka, Rabu (15/9/2021).
Puluhan aktivis LSM itu datang mempertanyakan amar putusan majelis hakim PN Kolaka terkait sengketa lahan di desa Huko-huko, Kecamatan Pomalaa, kabupaten Kolaka yang mereka nilai tidak berkeadilan.
Dalam pernyataan sikap dan orasinya, Koalisi Kolaka Kontrol menilai ada hal yang mencurigakan di balik putusan majelis hakim dalam sengketa lahan dimaksud.
Dalam orasinya, Khaeruddin, koordinator lapangan yang juga ketua Ormas Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (Pekat IB), dan Ketua DPC LAKI Kolaka Mardin Fahrun melihat beberapa kejanggalan dalam putusan yang akhirnya memenangkan keluarga Markus Nuntun, selaku penggugat atas tergugat yang juga warga Huko-huko terkait lahan seluas 10 hektar sebagai obyek sengketa.
Khaeruddin dan Mardin dalam orasinya mengaku heran sebab Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dipegang oleh keluarga Markus Nuntun (penggugat) dikeluarkan tahun 1974.
Sementara warga selaku tergugat juga mengantongi SKT nomor 82 yang dikeluarkan pada tahun 1982.
Menurut Khaeruddin dan Mardin, kejanggalan terlihat dari putusan majelis hakim yang memenangkan penggugat dengan obyek 18 hektar.
“Tanah yang masuk sengketa seluas 10 hektar tapi yang diputus oleh hakim seluas 18 hektar, inilah yang nilai aneh,” kata Khaeruddin dalam orasinya.
Keanehan lain, SKT yang dipegang oleh penggugat tertera nama Muhammad Yusufi selaku kepala desa Huko-huko pada saat itu.
Sementara nama kepala desa pada tahun 1974, berdasarkan versi pemerintah dan keterangan beberapa warga, adalah Muh. Yusuf.
“Itu kejanggalan kedua,” ungkap Khaeruddin.
Pada bagian lain Mardin Fahrun juga mengungkapkan lain yang juga sangat janggal.
“Tanda tangan dan stempel berbeda dengan dengan versi pemerintah. Dan setelah kita periksa kita curiga itu stempel tahun 2000-an. Dari sini kita menilai bahwa putusan hakim tidak cermat, apalagi tidak menghadirkan saksi ahli di persidangan,” tegasnya.
“Kami tidak hanya mempersoalkan putusan PN, kami juga ingin tahu apa dasar sehingga memutuskan seperti itu, ini kami hadir untuk menyuarakan keadilan,” tegas tambah Mardin.
Aksi unjuk rasa sempat memanas ketika massa mulai mencoba merangsek masuk dengan memanjat pagar kantor PN karena tak kunjung ditemui oleh pihak pengadilan.
Namun ketegangan bisa diredakan oleh beberapa personil Polres Kolaka dengan memediasi kedua belah pihak.
Sayangnya upaya meditasi oleh aparat Polres kandas setelah pihak PN Kolaka mulai memanggil 7 orang perwakilan pengunjukrasa untuk masuk ke halaman pengadilan.
Cara memanggil para wakil pengunjukrasa yang dianggap seperti “memanggil” para pihak dalam ruang sidang.
“Ini bukan sidang, kenapa mau diperlakukan seperti orang yang mau sidang. Keluar semua. Nanti kita lakukan aksi yang lebih besar lagi,” teriak Khaeruddin.
Usai aksi, Humas PN Kolaka Ignatius Yulianto Ariwibowo kepada wartawan mengatakan, pihaknya menerima massa di halaman kantor karena masih suasana pandemi.
Adapun terkait putusan hakim PN Kolaka atas tanah di desa Huko-huko, Ignatius mengaku tidak bisa mengomentarinya karena itu masuk ranah putusan.
“Yang bisa melakukannya (menjawab red.) adalah majelis di atasnya, apakah itu mereka melakukan kasasi atau peninjauan kembali,” kata Ignatius Yulianto.
Untuk diketahui, dalam lahan yang disengketakan terdapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) beberapa perusahaan, termasuk Perusda, PT AMM, PT SGS. Selain itu ada pula warga yang telah mengolah lahan selama bertahan-tahun.
Sengketa lahan tersebut sempat memanas beberapa waktu lalu saat pihak penggugat yang telah dimenangkan oleh PN Kolaka mencoba menghentikan semua aktivitas di lokasi sengketa. (eat)