30.2 C
Kendari
Saturday, December 9, 2023
spot_img

JMS Sultra Desak Semua Fraksi DPR RI untuk Mendukung Draft RUU TPKS

SIBERKITA.COM, KENDARI – Jaringan Masyarakat Sipil Sulawesi Tenggara (JMS Sultra) mendesak semua unsur fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI agar segera mengambil sikap untuk mendukung draft Rencana Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan (RUU TPKS) yang telah dihasilkan oleh Badan Legislasi DPR RI baru-baru ini.

Mereka meminta komitmen politik semua fraksi untuk mendukung draft RUU TPKS yang
dihasilkan Baleg untuk dibahas lebih lanjut demi terwujudnya pencegahan, keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Sebab, kepentingan korban haruslah diutamakan daripada kepentingan politik sebagai upaya konkrit menyelamatkan generasi penerus dan mewujudkan Indonesia maju tanpa kekerasan seksual.

Jaringan organisasi sipil ini terdiri dari LBH Kendari, Rumpun Perempuan Sultra, Yayasan Lambu Ina, Serikat Pekka Bau Bau, Jaringan Perempuan Pesisir Sultra, Aliansi Perempuan Sultra, Solidaritas Perempuan Kendari, Kohati Kendari, Korps PMII Puteri UHO, Suluh Perempuan Kendari, Vox Populi Instute Sulawesi Tenggara, PMKRI Cabang Kendari, GMNI Cabang Muna, PMII Cabang Muna, Kohati Badko HMI Sultra, Serikat PEKKA cabang Buton Selatan, Jaringan Paralegal Muna, Dra. Hj Sartiah Yusran. M.Ed. Ph.D dan Laxmi.

Mereka menilai, kekerasan seksual merupakan salah satu isu penting dan sekaligus paling rumit dalam peta kekerasan terhadap perempuan. Mengurai akar permasalahan dan memecah kebisuan perempuan korban kekerasan seksual dapat terjadi dengan mendekatkan pada penglihatan, pendengaran, pikiran dan hati yang jernih di masyarakat.

Dalam potret kekerasan terhadap perempuan baik ditingkat nasional maupun lokal kekerasan seksual selalu menduduki porsi terbesar, Pelaporan kekerasan seksual terus bertambah setiap tahunnya dan semakin kompleks, tidak terkecuali di masa pandemi COVID19. Catatan Tahunan KTP 3 tahun terakhir menunjukkan bahwa dalam 1 jam terjadi 2 hingga 3 kasus seksual Kekerasan seksual di ranah komunitas dan negara.

Sementara kasus kekerasan seksual di Sulawesi Tenggara pada tahun 2021 yang datanya
dihimpun dari lembaga layanan sebanyak 69 kasus dengan beragam kompleksitas masalah dan jenis kasusnya, mulai dari kekerasan seksual di ruang personal yaitu perkosaan sedarah (incest), pemerkosaan di komunitas, pelecehan seksual maupun kekerasan seksual diruang cyber.

Korban yang mengalaminya pun cukup beragam mulai dari anak-anak hingga usia lanjut. Jika ditilik pelaku kekerasan seksual juga beragam mulai dari kalangan kelompok miskin, PNS, oknum pejabat publik, Guru, ayah kandung, kakak kandung, ayah tiri, kakak tiri, kakek hingga orang tidak dikenal.

Dalam catatan lembaga layanan penanganan kasus kekerasan seksual masih mengalami
hambatan dan tantangan diantaranya : kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada ranah hukum tidak dapat diproses hingga persidangan, masih ditemukan prespektif aparat hukum belum berpihak pada korban, disejumlah kabupaten layanan kesehatan masih berbayar contohnya visum, rumah aman belum tersedia, di daerah kepulauan dengan keterbatasan akses transportasi membuat penanganan krisis tidak dapat terpenuhi dengan segera. Budaya masyarakat yang masih menyalahkan korban menghambat korban untuk memperoleh keadilan dan dukungan penuh untuk pemulihan.

JMS Sultra menilai, kompleksnya persoalan kekerasan seksual ini membutuhkan tanggung jawab Negara untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual sehingga perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan Keadilan dan pemulihan.

Inisiatif parsial datang dari beberapa institusi pemerintah dan pendidikan, dimana pada bulan oktober Menteri pendidikan Nasional RI mengeluarkan PerMendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi. Kondisi dipicu karena kebijakan payung yaitu Undang – undang penghapusan kekerasan seksual yang telah beberapa kali masuk dalam prolegnas prioritas tak kunjung di sahkan.

Jaringan masyarakat sipil sulawesi Tenggara menilai keberadaan UU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat memperkuat upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia, sekaligus untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang mampu menjamin warganya agar terbebas dari ancaman kekerasan seksual.

“Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) telah 2 (kali)
masuk dalam Prolegnas prioritas, terakhir pada periode Tahun 2020-2024. Setelah melalui serangkaian proses pembahasan yang cukup panjang dan mendapat masukan dari berbagai pihak, draft awal RUU ini yang berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), untuk itu kami sangat mengapresiasi kerja keras Baleg DPR RI dalam penyusunan RUU TPKS yang prosesnya terbuka dan partisipatif dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait,” kata Anselmus Masiku, salah satu anggota JMS Sultra dalam siaran persnya kepada SIBERKITA.COM, Kamis (2/12/2021).

“Sayangnya, pada Rapat Pleno di Baleg dalam rangka mengambil keputusan atas naskah draft RUU TPKS terkendala masih minimnya dukungan fraksi. Hal ini menjadi keprihatinan kami karena RUU TPKS belum menjadi komitmen politik dan agenda prioritas mayoritas fraksi-fraksi,” lanjut Ansel.

Selain meminta komitmen semua fraksi di DPR RI, JMS Sultra juga mengepresiasi kerja keras Baleg dalam penyusunan RUU TPKS sebagai bentuk komitmen negara untuk memberikan pelindungan terhadap warga negaranya dari tindak pidana kekerasan seksual.

Mereka juga mendukung Baleg untuk menetapkan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR RI dan menyelesaikan pembahasan RUU TPKS tersebut paling lambat pada masa sidang I tahun persidangan 2021-2022 serta melanjutkan pembahasan RUU TPKS secara
transparan, partisipatif dan inklusif dengan membuka akses dan memberikan ruang
bagi kelompok masyarakat sipil termasuk lembaga penyedia layanan pendampingan
korban, pendamping korban, dan korban kekerasan seksual dari kelompok marjinal untuk memberikan masukannya.

Kemudian, meminta DPR RI untuk mengesahkan RUU TPKS pada tahun 2021 dengan memastikan substansi RUU yang mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban kekerasan seksual, berfokus pada rumusan norma hukum untuk pelindungan dan pemulihan korban, dan menolak rumusan norma hukum yang berpotensi mengkriminalisasi korban.(AS)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Latest Articles