SIBERKITA.COM, KOLAKA–Ratusan warga desa Hakatotobu, kecamatan Pomalaa, kabupaten Kolaka menggelar aksi unjuk rasa di Pengadilan Negeri (PN) Kolaka, Senin (3/10/2022).
Unjuk rasa yang difasilitasi Aliansi Masyarakat Kolaka Menggugat (AMKM) tersebut dilakukan guna menyikapi penetapan tersangka terhadap Kepala Desa Hakatotobu Nurdin dan istrinya, Irnawati dalam kasus dugaan pengrusakan rumah ibadah.
Aksi unjuk rasa yang dimotori Herman Syahruddin, Amir Kaharuddin, Haeruddin, dan Ade Suwarko itu dimulai dari titik kumpul mereka di kawasan tugu Adipura.
Dalam pernyataan sikap dan orasi mereka, AMKM menegaskan bahwa penetapan Nurdin dan Irnawati sebagai tersangka, dan kini telah menjadi terdakwa di pengadilan, adalah tindakan kriminalisasi.
Secara umum AMKM menyatakan, permasalahan hukum yang menimpa Nurdin dan Irnawati bermula dari pembongkaran rumah ibadah. Pembongkaran tersebut menurut AMKM didasari pertimbangan kelayakannya sebagai rumah ibadah.
Sayangnya, pembongkaran itu kemudian dianggap sebagai tindakan perusakan oleh pihak yang mengaku sebagai pemegang kuasa atas lokasi dan bangunan tersebut.
Anehnya, dalam laporannya di Polda Sultra, pihak yang mengaku sebagai kuasa atas lokasi dan bangunan rumah ibadah tersebut tidak dapat membuktikan satu lembar pun bukti dokumen penunjukannya sebagai pemilik, atau wakil kuasa untuk melakukan gugatan.
“Harus dipahami, pembongkaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembangunan kembali rumah ibadah itu adalah hasil musyawarah desa. Jadi itu adalah keputusan bersama dengan warga dan tertuang dalam berita acara. Ini bukan tindakan sepihak yang layak diperkarakan secara pidana. Lagi pula pelapor itu bertindak dalam kapasitasnya sebagai apa,” tegas salah satu koordinator AMKM, Herman Syahruddin dalam orasinya.
Ditambahkan Herman, kalaupun tindakan pembongkaran dianggap sebagai perbuatan yang salah, itu lebih mengarah pada pelanggaran perdata.
“Tapi Itupun jika kemudian pembongkaran dan pembangunan kembali ternyata memberi dampak yang positif dan berguna bagi orang banyak maka dengan sendirinya sangkaan itu bisa dikesampingkan atau gugur,” tambah Herman.
Senada dengan Herman, Haeruddin dalam orasinya menyatakan, masjid yang menjadi obyek sengketa telah dimanfaatkan oleh warga untuk beribadah.
“Tidak ada warga yang keberatan. Mereka malah bersyukur karena masjid yang sebelumnya tidak layak sekarang justru lebih nyaman untuk dijadikan tempat beribadah. Penyidik semestinya melihat ada asas manfaat yang lebih besar dibanding hanya sekedar menyoal pembongkaran itu,” ujar aktivis yang akrab disapa Dudi.
Mengacu fakta bahwa pembongkaran dan pembangunan kembali masjid yang justru membawa manfaat lebih besar, AMKM kemudian mendesak pengadilan negeri Kolaka menangguhkan penahanan atas kedua terdakwa.
Selain itu, AMKM juga meminta majelis hakim PN Kolaka memasukkan asas manfaat pembangunan kembali masjid menjadi lebih layak, sebagai pertimbangan utama dalam putusannya.
“Kita tidak bermaksud mengintervensi majelis hakim, tapi setidaknya majelis hakim menggunakan nurani saat akan memutuskan perkara. Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah ketimbang menghukum 1 orang yang tidak bersalah,” kata Herman.
Menanggapi tuntutan pengunjukrasa agar pengadilan menangguhkan penahanan kedua terdakwa, dan memutuskan pembebasan atas kedua terdakwa, Humas PN Kolaka Muhammad Fauzi menyatakan bahwa itu adalah kewenangan majelis hakim.
“Kedua terdakwa telah didampingi oleh kuasa hukum sesuai aturannya. Terkait permintaan penangguhan penahanan, itu telah diajukan sebelumnya oleh kuasa hukum terdakwa. Tapi lagi-lagi itu adalah ranah atau kewenangan dari majelis hakim. Kemudian nantinya apakah dibebaskan atau dinyatakan bersalah itu pun kewenangan dari majelis yang memeriksa perkara. Intinya mari kita kawal bersama agar semuanya berjalan sesuai dengan prosedur,” ujar Fauzi saat menerima pengunjukrasa di depan gerbang PN Kolaka.
Untuk diketahui, gugatan pidana terhadap Kades Hakatotobu bermula dari inisiatif Nurdin selaku kepala desa untuk melakukan pembongkaran masjid lama, dengan pertimbangan kelayakan bangunan.
Inisiatif tersebut kemudian dibawa ke dalam musyawarah desa yang dihadiri warga dan aparat desa. Musyawarah kemudian dituangkan ke dalam berita acara rapat.
Setelah pembongkaran dan
pembangunan kembali telah direalisasikan, seseorang yang mengaku sebagai pemilik lokasi dan bangunan mempersoalkan hal itu secara hukum di Polda Sultra pada tanggal 16 Februari 2022 lalu.
Tidak lama setelah laporan tersebut, Nurdin dan istrinya ditetapkan sebagai tersangka kasus pengrusakan. Keduanya kemudian ditahan di Mapolda Sultra tak lama setelah kasus bergulir.
Kini kasus dugaan pengrusakan tersebut telah dilimpahkan ke pengadilan negeri Kolaka. Nurdin dan sang istri ditetapkan menjadi terdakwa.
Hingga kemarin, perkara kedua tersangka telah memasuki tahap eksepsi.
Dua kuasa hukum terdakwa, Andri Darmawan dan
Andri Alman menilai ada kejanggalan dalam perkara tersebut.
Kejanggalan itu termasuk legalitas pelapor yang dinilai tidak memiliki bukti dokumen sah sebagai pihak yang berhak melakukan gugatan.(eat)